Sekilas tentang Dusun Topidi (Sulawesi Selatan)

IrmaKamaruddin | update: 29 Mei 2015 @ 23.18 | 0 comments

Cinggu ya.....

Sewaktu pengkaderan beberapa minggu yang lalu, kami melakukan sosiologi pedesaan sebagai satu dari sekian rangkaian kegiatan pengkaderan.


Biroro yang terletak di wilayah Kelurahan Bontolerung, Kecamatan Tinggi Moncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Daerah yang terletak di selebah selatan Kota Makassar ini merupakan salah satu jalur yang digunakan dalam pelaksanaan OPKL XIX. Jalan setapak berbatu yang berkelok dan menanjak merupakan satu-satunya alternatif yang harus ditempuh untuk mengakses dusun yang didiami oleh 30 kepala keluarga ini. Berdasarkan hasil Sosped dan pengamatan langsung diperoleh bahwa Topidi merupakan salah satu dari sekian dusun di Desa Biroro yang lahannya mayoritas ditumbuhi oleh tanaman kopi dan persawahan sengkedan. Letaknya yang berada tepat di kaki gunung Bawakaraeng menyebabkan kontur lahan Topidi cenderung miring, hal ini menuntut masyarakatnya memanfaatkan lahan pertanian dengan teknik sengkedan.
Sengkedan atau terasering merupakan salah satu teknik penggunaan lahan miring untuk persawahan, penggunaan teknik sengkedan memberikan kemudahan bagi para petani Topidi dalam hal irigasi, dengan lahan yang miring proses irigasi akan lebih mudah sehingga kebutuhan sawah akan air dapat terpenuhi dengan baik. Namun, disisi lain persawahan sengkedan rawan akan longsor, tidak dapat dipungkiri bahwa tanah yang memiliki kemiringan yang cukup curam lebih mudah mengalami longsor, terlebih jika musim penghujan. Kendala ini ditanggapi oleh masyarakat Topidi dengan kreatif, mereka membuat sejenis pagar bambu atau kayu yang didirikan di sekitar bidang lahan yang vertikal untuk menopang tanah tersebut. Sehingga, kemungkinan sengkedan yang longsor dapat diminimalisir.
Selain persawahan sengkedan, kopi pun merupakan salah satu tanaman perkebunan yang banyak dijumpai disetiap sudut Topidi. Kopi arabika merupakan jenis tanaman kopi yang dapat tumbuh subur di daerah dataran tinggi dengan suhu yang sejuk, hal ini menjadikan tanaman perkebunan di Topidi didominasi oleh kopi arabika. Melihat potensi alamnya sedemikian rupa, tak heran jika mayoritas masyarakat Topidi bergelut di sektor pertanian.
Para petani setempat biasanya menanami satu lahan dengan jenis tanaman yang heterogen, Hal ini berkenaan dengan luas lahan yang sempit. Menurut Ibu Zohrah bahwa biasanya satu lahan yang tidak begitu luas ditanami dengan padi dan kopi. Sebagai salah satu dari sekian petani di Topidi, Ibu Zohrah mengakui lahan merupakan kendala baginya. Begitu pula para petani lainnya, lahan yang sempit menjadi hambatan yang menyebabkan tidak optimalnya produksi kopi dan padi yang dihasilkan karena sawah ditanam berdampingan dengan tanaman kopi.
Mengatasi lahan sempit dengan menggabungkan jenis tanaman berbeda pada satu lahan yang sama merupakan satu solusi yang diterapkan petani Topidi. Namun, mereka pun menyadari dibalik solusi tersebut terdapat masalah baru yang muncul berupa produksi yang tidak optimal. Sebagian petani lainnya memilih menanam kopi di atas gunung tetapi, Sulitnya menjangkau lahan yang dibuka di atas gunung menyebabkan hanya sebagian petani saja yang memilih opsi tersebut. Produksi pertanian di Topidi masih dilakukan secara tradisional, lahan dengan kontur yang bergelombang dan jenis persawahan sengkedan menyulitkan dalam penggunaan teknologi pertanian. Selain itu, alasan jarak yang jauh menjangkau kota dan harga yang mahal menyebabkan petani setempat memilih cara tradisional dalam mengolah pertaniaannya. Dalam pengolahan pascapanen pun masih menggunakan cara tradisional. Hanya sebagian kecil yang menggunakan alat pertanian, itupun masih tergolong alat sederhana.
Untuk pengolahan pascapanen kopi arabika, biasanya digiling dengan alat penggiling kopi yang sederhana dan hanya sebagian kecil petani yang memilikinya. Potensi alam yang besar ternyata hanya dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebatas menjual hasil komoditas primer pertanian berupa produk mentah ke tengkulak dengan harga yang murah. Kemampuan mengolah komoditas primer menjadi produk olahan masih belum dimiliki masyarakat Topidi sehingga wajar saja jika penjualan hasil pertaniannya tidak optimal. Tidak ada ritual khusus yang dilakukan masyarakat Topidi dalam menghadapi masa tanam ataupun masa panen, hanya berupa syukuran biasa yang diadakan tiap kelapa keluarga setelah masa panennya usai.
Selain sumber daya hayati yang dimanfaatkan sebagai ladang perekonomian, beternak hewan pun menjadi mata pencaharian sebagian masyarakat Topidi lainnya. Biasanya setelah masa tanam atau masa panen yang jatuh 6 bulan sekali di bulan Mei atau Juni, masyarakat setempat memanfaatkan waktu tersebut untuk beternak. Sapi gunung, kambing, dan ayam merupakan pilihan ternak yang banyak dipelihara masyarakat Topidi. Air yang digunakan untuk kegiatan sehari-hari dan pertanian diperoleh masyarakat Topidi dari mata air yang bersumber dari Gunung Bawakaraeng dan dialirkan melalui pipa dan bambu menunuju dusun. 

Dibalik kemudahan yang diberikan oleh alam, ternyata terdapat kendala yang harus dihadapi oleh masyarakat setempat, khususnya dalam hal pendidikan dan transportasi. Dengan infrastruktur jalan yang buruk menyulitkan alat transportasi khususnya mobil untuk menjangkau dusun ini dan tak ada satu pun angkutan umum berlalu-lalang sehingga menyulitkan masyarakat setempat mengakses puskesmas dan sekolah, mengingat tidak semua kepala keluarga memiliki kendaraan beroda dua. Dalam hal pemenuhan kebutuhan sehari-hari, biasanya masyarakat Topidi memanfaatkan kekayaan hayati yang telah tersedia di alam dan menggunakan jasa pasar yang terkadang hanya beroperasi 2 kali seminggu.


BYEEE

← Older / Scroll Back Up / Newer →

Copyright © Irmak 2009 - . All rights reserved.