“Seolah-olah” Mendaki : Cerita singkat perjalanan menuju pengkaderan di Lembah Ramma

IrmaKamaruddin | update: 6 Mei 2015 @ 15.18 | 0 comments

Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 30 April – 4 Mei 2015 gue melakukan ekspedisi ke Lembah Ramma, maunya sih. Tapi, faktanya gue ke Lembah Ramma dalam rangka mengikuti rangkaian pengkaderan. WIUHHH…..




Sejenis rekrutmen anggota militer lah tapi, ini lebih tinggi levelnya 1 tingkat J.  Rekrutmen sebagai anggota suatu Organisasi, bisa dibilang seperti itu. Gue anak Teknologi Pertanian 2014 Unhas, masih angkatan baru dan untuk menjadi Mahasiswa Teknologi Pertanian setengah dewa, kami harus menjadi anggota suatu organisasi. Akhirnya beberapa diantara kami yang ingin menyempurnakan kekuatan dewanya memilih ikut dan sisanya termasuk gue memilih diikutkan, berhubung gue satu dari sekian junior yang punya rasa “komitmen” tinggi *hahaha dan punya rasa “takut” dimakan senior, akhirnya gue mengiklaskan diri menghadapi pengkaderan. UYEEE…..EEEYAAA

OPKL, sebut saja seperti itu, nama kegiatan pengkaderan tahap akhir (?) ehm, gue ralat. OPKL, sebut saja seperti itu, nama kegiatan pengkaderan tahap awal. Namanya HIMATEPA, pekerjaanya menjual bakso borax yang digoreng pake minyak cat. Maaf, gue salah kasih masuk data. HIMATEPA (Himpunan Mahasiswa Teknologi Pertanian), itulah nama ORGANISASI MAHASISWA TEKNOLOGI PERTANIAN yang untuk menjadi anggotanya harus melalui tahapan pengkaderan.

Singkat cerita, sebelum merangkak indah ke Lembah Ramma,  gue dan teman manusia gue yang lainnya harus mengikuti beberapa persyaratan mutlak “katanya” : dibina beberapa bulan lari  pagi - sore keliling Unhas yang lebarnya lumayan ampuh ngebuat mulut nenek lho berbusa. Nggak tiap hari memang kami keliling Unhas, cukup rutin tiap 2 atau 3 kali seminggu dan itu berhasil membuat betis gue menjadi sangat abstrak.

Setelah merasa betis gue dieksploitasi bentuknya, tibalah di hari dimana gue dan anak manusia lainnya harus mendaki kaki Gunung Bawakaraeng, tepatnya seolah-olah mendaki. Selama pendakian itu semua anak manusia sangat bersemangat, berjalan sangat cepat, pandangan sangat sigap, langkah kaki berirama,…..Sedangkan gue (?), jangankan semangat, untuk bagaimana cara berjalan pun sepertinya gue lupa !!. beratnya beban barang dan dosa yang harus gue pikul ditambah bau busuk ketek yang menghantui sepanjang perjalanan membuat gue mengikhlaskan diri kira-kira di comberan mana gue bakal terkapar indah. Panjangnya medan yang berkelok-kelok dengan mantap memadamkan semangat gue, tak tersisa……… 

*Sambil melambai-lambaikan berdera putih.
Ternyata GUE nggak selemah itu !! Horeeee,
Ternyata gue nggak terkapar dicomberan manapun.
Ternyata gue nggak mimisan karena bau ketek yang bergentayangan itu.
Ternyata gue bisa seolah-olah mendaki,......

Tiba di Lembah Ramma, padang rumput luas menyambut lelah gue, itu luas, itu dingin, itu cantik, dan itu penuh tai sapi. Iyaa, dibalik kecantikan lembah ini ribuan onggok tai sapi menghias indah dipermukaan tanahnya, warna rumput dan tai sapi pun sulit dibedakan. kesigapan pandanganlah yang menyelamatkan kami dari terror tai sapi. Seperti yang gue bilang di awal, gue dan bau ketek gue, anak manusia lainnya dan bau keteknya dilatih seolah-olah dipersiapkan untuk menghadapi perang dunia ke-III.



Ini bukan latihan yang sekedar berlatih, ini latihan militer yang sesungguhnya. Dengan 1 baju berwarna biru gelap yang dituding sebagai “Baju Lapangan” adalah sejenis baru harian kami yang WAJIB digunakan ketika kegiatan lapanan dilakukan, baik itu ketika kami tiba di Lembah Ramma dan 1 hari sebelumnya, ketika kami seolah-olah mendaki ke Lembah Ramma. Dan total 4 hari baju itu melekat di badan kami, berganti cuaca dari panas ke hujan dan sebaliknya, tidak kenal basah dan kering, mau itu kotor dan bersih, entah itu bau dan bau sekali, pokonya apapun makanannya baju tetap itu.

Kami dilatih oleh senior dan pendahulu kami yang lebih dulu merasakan pendidikan militer yang sepertinya lebih sulit dari ini. Benar-benar mental dan fisik sangat diandalkan saat itu, gue bersyukur mental dan fisik gue bisa mandiri mempertahankan dirinya sendiri. Kemudian, tiba dikegiatan “Sosialisasi Warga” itu sejenis kegiatan dimana hak atas diri lho sepenuhnya berganti kepemilikan menjadi milik senior lho. Kira-kira seperti itu,… *tapi, tidak seberbahaya bahasa gue. Intinya sih lho dikerjain lah.

Dan gue bersyukur lagi, saat itu mental dan fisik gue mengikhlaskan hak atas dirinya berpindah ke tangan senior. Karena ketika gue ikhlas, disitu gue tahu setidaknya gue bisa pulang ke rumah dengan anggota tubuh yang lengkap. Seandainya gue berontak dan sok-sok menjunjung HAM gue, disitu gue tahu setidaknya jasad gue ngambang bersama tai sapi.

Lalu, dengan ketegarannya, mental dan fisik gue bergerak kesana-kesini mengikuti setiap frekuensi gelombang suara para senior. Ada yang baik hatinya, hanya minta gue duduk manis sambil mendengarkan ceramhanya, ada yang lebih baik lagi hatinya, minta gue jadi atlet senam.

“Dan ada senior yang hatinya paling baik diantara senior lainnya, menyuruh saya menaruh tai sapi yang fress from the oven ke kedua pipi saya. Dan itu saat dimana saya merasa SEDIH SEKALI, dan itu saat dimana rasa sedih itu kemudian menjadi tangis yang sesungguhnya ketika saya merasakan betapa tidak dihargainya saya sebagai manusia yang ternyata ada manusia lainnya yang dengan ringan hatinya dan dengan haknya yang entah hak apa itu meminta saya menaruh tai sapi yang jelas-jelas itu benda KOTOR ke wajah saya. Apapun itu alasan, kenapa saya menjadi ikhlas menerima itu. Karena, saya tidak sedang merasa punya hak memegang kendali atas hak saya sendiri. Karena, saya tidak sedang mau dihadapkan dengan sakit hati lainnya ketika saya menolak itu. Karena, saya tidak sedang merasa punya ilmu dan keberanian untuk dengan lantang menolak itu. Dan saya tidak pernah merasa itu sebagai bentuk pembelajaran. ITU MEMBUAT MANUSIA INI SAKIT HATINYA. Hati, kalau hati yang sakit, apapun itu bentuk penghiburannya tetap akan berbekas. Manusia ini tidak mau sakit hatinya tapi, apa daya manusia satu ini hatinya peka. Jangankan tai sapi yang buat manusia ini sakit hati, janji kecil pun yang tidak tertepati bisa bikin manusia ini menangis sedih di depan umum. Mungkin kalau orang lain yang menimpa ini adalah hal yang biasa. Tapi, untuk saya, kalau hati yang kena itu jadi bukan hal yang biasa.
Hmmm, ada apa ini ?? kenapa atmosfer tulisannya berubah…..
Oke, yang tadi itu bukan cuma tangan gue yang nulis tapi, ada hati yang ikut andil menekan tiap keyboardnya. Ihirr….

Yahh, susah memang memahami tiap hati yang sakit, tiap manusia punya hatinya masing-masing dan punya rasa hati yang berbeda pula. Manusia yang ngetik pake huruf bold di atas punya hak untuk merasa sakit hati tapi, dia juga punya hak untuk menyembuhkan hatinya yang sakit itu. Itu kemudian akan berbekas memang tapi, bekas hanya meninggalkan tanda tidak meninggalkan rasa. Semoga manusia di atas tadi bisa dengan cepat menyembuhkan sakit hatinya. Eeeeaaaaa

Ini kenapa ENDING ceritanya jadi mellow begini yah, mungkin mengikuti jarum jam yang tepat menunjukkan pukul 12 malam.

Apaa !! 12 Malam. Sepertinya gue mau mengundurkan diri dari layar laptop, besok mau menunaikan tugas sebagai anak yang berbakti pada orang tua, menemani nyokap arisan keluarga, tepatnya jadi supir.

Oke, Minna, Mata atode ne. Dadahhh Ummaaa.

← Older / Scroll Back Up / Newer →

Copyright © Irmak 2009 - . All rights reserved.