Ketika pagi nampak seperti burit pengantar malam
IrmaKamaruddin | update: 22 Jul 2015 @ 13.00 | 0 comments
Selamat pagi,
malam…
Mengapa ia tersenyum
pongah pada ku, seolah hengkang dari pijakannya, teringat betapa tak secuil
kasih yang terbalas, Hanya tentang segelintir masa lalu kemudian, Ia hendak
menyisakan elegi di pagi ku yang malam ini..
Tak ada lagi
fajar menyambut kedua mata sayup ku, hanya gelap yang ku kenali sebagai burit
pengantar malam. Tak apa, elegi pun mampu menghibur gelap-gelap ini Tapi, mengapa
tak tersisa secarik cahaya pun untuk ku bangkit, umpatnya dari balik jendela
berteralis besi itu,..
Apakah gelap
ini titah mu, sayang ? atau penyempurna elegi-elegi itu ?
Sama saja,
semuanya tak nampak mujur bagi ku bahkan, ketika kau kembali merajut benang
yang terlanjur kau putus, itu tak akan mampu atau bahkan hanya seolah membalut
tubuh. Karena, tak
semua benang putus bisa terajut rapi kembali. begitu pula kasih yang
ditelantarkan, tak semudah mengumpulkan butiran beras.
Ini sedikit lebih rumit
dari menyatukan bulir-bulir air mata pembasah teriknya pagi yang berangsur
tegak di atas kepala. Malangnya, semua nampak gelap bagi ku. Tentang masa lalu,
tentang ujung yang tak mengarah kemana-mana, Tentang itu pula aku tahu tak ada
kisah yang berakhir bahagia Karena, pada akhirnya yang berjuang akan
tersakiti.